Mengevaluasi dan Menyunting Teks “Guyonan Bersama Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’”
Pada bagian ini kalian diminta untuk mengevaluasi dan menyunting teks“Guyonan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” dari sisi struktur teks, sisi kebahasaan, dan juga sisi isinya. Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik “Gundala Gawat” Dwi Klik Santosa
GUYONAN BERSAMA PEMENTASAN TEATER GANDRIK “GUNDALA GAWAT”
No.
|
Struktur Teks:
“Guyonan Bersama
Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’”
|
1.
|
Orientasi:
“Gundala Gawat”karya
budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera
Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah karya guyonan belaka. “Sesekali
kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan cara yang guyonan,” kata GM, “semua
terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si seniman dari
Njogja yang kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru
berbagai logat dan karakter pengucapan tokoh- tokoh nomer satu Indonesia,
bahwa, ”Pementasan
naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran bagi publik untuk
menafsirkan nilai-nilai sebuahesensi,”kata Butet Kartaredjasa,“apakah guyonan
ala kami sama dengan guyonan gaya OVJ.”
|
2.
|
Tafsiran Isi:
Mendengarkan ucapan
kedua tokoh utama dibalik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya
untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013.
Terdapat beragam
tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya. Muncul pula kritik
dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya
rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.
Harian Suara Merdeka
melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang,memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review
terhadap pementasan itu. Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih
menekankan pada tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad
ini menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan
sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja
terutama plesetannya adalah ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya
memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama
kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak
laku.”
Begitupun, Harian Jawa
Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti
lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan
sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki, aktor kawakan Bengkel
Teater Rendra era 1980—1990-an, ketika saya mintai pendapat, hanya
menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM, membuat adaptasi
naskah teater yang seperti itu,” katanya.
Dan kata Iwan Sudjono,
seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan
tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya.
Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya. Sehingga agak luput seperti apa
yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis oleh seorang GM.”
Teater
Kontekstual
Almarhum Rendra
memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah pendapatnya, ”Yang paling
menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara
mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda
bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.”
|
3.
|
Evaluasi:
Menyaksikan secara
utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala Gawat” dari sejak gladi
resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan dalam pemahaman
saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya tersebut, cukup
berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan perannya sebagai sutradara.
Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari kreativitas
yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga. Dari
abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup mengalir memberikan tanya yang
berjawab bagi benak segenap penonton.
Naik turun penasaran
penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang
sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar
digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi dengan gaya sampakan atau akting
semau gua yang akhirnya menjadi ciri khas para ”gandriker” yang sesekali
meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan spontanitas yang kontekstual
dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang selalu menjadi ciri mereka dan
ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk menghasilkan senyum dan bahkan
tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup teater dari Njogja ini, absen dari
perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, salah satu dedengkotnya,
yang meninggal dalam usia 54 tahun karena sakit. Menjadikan pementasan yang
emosional bagi para anggota Gandrik, kiranya, seperti ingin menunjukkan
sebuah semangat, “Teater Gandrik akan terus hidup dan berpentas!”
Hanya saja, saya
melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai si Den Baguse
Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran,
berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah aktor utama dalam
pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah berakibat bagi
yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang fatal.Yaitu terlambat masuk ke dalam timing.
Sehingga naskah yang semestinya lucu secara naskah, lantas tak menghasilkan
senyum atau ketawa penonton, alias hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang
semestinya dramatis. Menyepikan suasana untuk memberi nuansa tragis, atau
sitegang sebagai gambaran tajamnya persoalan peristiwa, jadi naik turun pula
maknanya dalam pencernaan penonton.
Untungnya ada Butet
Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris prima dan konsisten.
Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk
memberi nuansa dramatis pada ending pementasan.
Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan pandai
mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia jago orasi yang mumpuni. Sehingga
pintar membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju kepadanya,
begitulah misteri panggung itu jika sudah jinak. Namun, kali itu, ia
mengalami dilema, terlambat timing. Sehingga
semestinya, kalimat terakhir yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau saja para
superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir
ndasmu!” akan
ikut pula memalu dan menggodam perasaan penonton. Danmenjadikan sepi ruang
alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan.
Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan
menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.
|
4.
|
Rangkuman:
Secara umum, saya
melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan
kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan
belaka, saya rasa ada benar nya.Tapi juga
sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan
kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja
jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya,
memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.
|
- Dalam teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” tersebut banyak terdapat kekeliruan dalam penggunaan kaidah kebahasaan. Banyak juga ditemukan pemubaziran penggunaan kata atau penulisan kalimat. Dalam bidang ilmu bahasa, kemubaziran, yang disebut juga dengan kelewahan” dimaknai sebagai penggunaan kata secara berlebih. Artinya, kehadiran kata itu sesungguhnya tidak diperlukan, yang jika dihilangkan pun tidak akan mengganggu informasi yang disampaikan. Contohnya adalah penggunaan kata bersinonim secara bersama-sama, seperti agar supaya, demi untuk, dan servis pelayanan. Bisakah kalian menemukan contoh sejenis itu? Coba kalian baca sekali lagi teks di atas dengan teliti, lalu suntinglah teks ulasan tersebut. Tuliskan hasil suntingan kalian pada kolom yang tersedia berikut ini. Lakukan dengan mendiskusikannya dalam kelompok yang telah ada!
No. | Kata/Kalimat yang Keliru atau Mubazir | Kata/Kalimat yang Benar |
1 | Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. | Harian Suara Merdeka, melalui tulisan Sony Wibisono, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. |
2 | Seringkali ia melakukan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. | Seringkali ia melakukan hal yang fatal, yaitu terlambat masuk timing. |
3 | Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyakiskannya | Terdapat beragam tanggapan masyarakat |
4 | Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan. | Hanya saja pada pementasan hari pertama, Butet Kartaredjasa kurang baik memberi kesan dramatis di akhir pementasan. |
5 | Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi. | Pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi bahan-bahan untuk mengolah lagi. |
6 | Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. | Begitupun harian Jawa pos memuatnya sebagai topik utama yang menekankan sebuah data seperti lakon sebelumnya. Lewat “Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. |
7 | Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. | Rasa penasaran penonton dimainkan dengan permainan lighting yang bersinergi dengan bagus dan jenaka, serta senyapnya permainan musik dan layar digital animasi yang bernuansa. |
8 | Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus. | Muncul pula kritik dari beberapa media. Tetapi secara umum semuanya memberikan nilai baik |
9 | Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya. |
Iwan Sudjono, seniman Yogyakarta yang sering pentas diluar negeri juga turut memberikan tanggapannya. “Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya”
10
Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Saya rasa, terlampau banyak badutannya.
Menurut kalian, termasuk corak kritik apakah teks ulasan di atas? Coba jelaskan.
Menurut kami corak keritik yang digunakan adalah corak kritik eksposisi karena pengulas menulis tentang bagan-bagan yang membangun pementasan “Teater Gandrik” dimulai dari naskah, pemeran, alur, dan pementasan. Pengulas Dwi Klik Santosa juga mengungkapkan beberapa kritik dan pujian dalam teks ulasannya.
Sumber: